Kartini dan Pendidikan Jiwa di Era Kecerdasan Buatan

Setiap 21 April, kita mengenang Raden Ajeng Kartini sebagai pelopor emansipasi perempuan. Tapi lebih dari itu, Kartini adalah seorang pemikir yang tajam dan jauh melampaui zamannya. Ia percaya bahwa pendidikan adalah kunci kemajuan, namun bukan hanya pendidikan yang mengasah kecerdasan otak, melainkan pendidikan yang membentuk budi dan jiwa manusia. Dalam salah satu suratnya kepada sahabatnya di Belanda, Kartini menulis, “Habis gelap, terbitlah terang,” yang tak hanya berarti keluar dari kebodohan, tapi juga dari kekakuan moral dan kemiskinan rasa.

Kartini sangat menyadari bahwa kecerdasan bisa dilatih, bahkan “dibentuk” jika ada metode yang tepat. Tapi ia juga paham bahwa hal yang lebih sulit dan sering kali diabaikan adalah mendidik hati. Ia pernah menulis, “Apalah artinya kepandaian, kalau tidak digunakan untuk kebaikan? Apalah artinya ilmu, kalau tidak disertai budi dan rasa kasih?” Kalimat ini menunjukkan bahwa bagi Kartini, ilmu tanpa nilai-nilai kemanusiaan hanyalah kumpulan fakta tanpa makna.

Hari ini, teknologi sudah mencapai titik luar biasa. Kecerdasan buatan bisa menulis puisi, menjawab soal matematika, bahkan membantu orang meraih gelar. Namun, di tengah kemajuan itu, kita tetap belum punya teknologi yang bisa menanamkan rasa empati, sopan santun, atau kepekaan sosial. Seolah-olah Kartini sudah bisa memprediksi ini: bahwa manusia akan begitu sibuk mencerdaskan otak, tapi lupa menyentuh hati. Bahwa kecerdasan bisa dibuat, tapi kebijaksanaan harus dilatih lewat pengalaman hidup.

Kartini ingin perempuan dan laki-laki sama-sama mendapatkan pendidikan yang utuh bukan hanya agar mereka pandai membaca dan menulis, tetapi agar mereka menjadi pribadi yang utuh, kuat secara karakter. Dalam suratnya yang lain, ia berkata, “Tugas pendidikan yang terutama bagi seorang anak manusia ialah mendidik hatinya.” Kalimat ini sederhana tapi dalam maknanya, dan sayangnya sering terlewatkan dalam sistem pendidikan modern kita.

Pendidikan yang terlalu menekankan nilai akademik, ujian, dan prestasi, perlahan-lahan bisa melahirkan generasi yang cerdas tapi kosong. Seseorang bisa saja tahu banyak hal, tapi tidak tahu cara memperlakukan orang lain dengan hormat. Di sinilah pentingnya kembali ke pemikiran Kartini mengingat bahwa pendidikan yang sesungguhnya bukan hanya membentuk kepala yang pintar, tapi juga hati yang peka dan jiwa yang luhur.

Maka, peringatan Hari Kartini seharusnya menjadi momen untuk merenung kembali: apakah sistem pendidikan kita sudah sejalan dengan cita-citanya? Sudahkah sebagai guru kita mampu mendidik budi dan jiwa anak-anak kita, sehingga mereka mampu belajar untuk menjadi manusia yang tidak hanya cerdas, tapi juga memiliki rasa? Karena seperti yang Kartini katakan, “Ilmu yang paling tinggi adalah ilmu yang menjadikan kita manusia yang lebih baik.”

#mendidikdenganhati

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *