Ada Apa dengan Siswa Kita?

Coba sesekali kita berjalan-jalan mengelilingi lingkungan sekolah, mungkin akan kita temukan pemandangan yang memprihatinkan. CCTV yang seharusnya menjadi alat pengawasan justru diputar arahnya agar tak merekam, gayung di toilet entah menghilang ke mana, tembok yang awalnya bersih kini penuh coretan tanpa makna. Lebih menyedihkan lagi, banyak siswa yang tampak tak peduli dengan kebersihan dan kenyamanan sekolah mereka sendiri. Sampah berserakan, taman rusak, bahkan kursi dan meja belajar pun tak luput dari aksi vandalisme. Pertanyaannya, mengapa hal seperti ini bisa terjadi?

Fenomena ini tentu bukan hal baru, tapi bukan berarti harus dibiarkan menjadi budaya. Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu dan membentuk karakter, justru tampak seperti tempat yang kehilangan kendali. Ketika siswa tidak merasa memiliki ruang belajar mereka sendiri, maka wajar jika mereka tak peduli dengan kondisinya. Tapi, apa yang menyebabkan rasa kepemilikan itu hilang? Apakah karena sistem pendidikan kita terlalu menekankan nilai akademik dan melupakan nilai-nilai moral dan tanggung jawab?

Pendidikan karakter yang sering digaungkan dalam kurikulum seakan hanya menjadi formalitas. Nilai-nilai seperti tanggung jawab, kepedulian, dan rasa hormat memang diajarkan, tapi apakah ditanamkan dengan sungguh-sungguh? Tidak cukup hanya lewat ceramah di kelas atau slogan di dinding sekolah. Karakter terbentuk dari kebiasaan, dari contoh nyata yang konsisten, dan dari lingkungan yang mendukung tumbuhnya sikap positif. Jika siswa setiap hari melihat guru dan pegawai sekolah yang juga tak peduli, lalu siapa yang bisa dijadikan panutan?

Selain itu, perlu diakui bahwa siswa hari ini hidup di era digital yang serba cepat dan instan. Banyak dari mereka lebih sibuk dengan dunia maya ketimbang lingkungan nyata di sekitarnya. Mereka lebih peduli pada citra di media sosial daripada keadaan toilet sekolah. Maka, membentuk karakter dalam konteks saat ini memerlukan pendekatan yang berbeda. Tidak bisa lagi mengandalkan metode lama. Perlu pendekatan yang lebih kreatif, dialogis, dan kontekstual agar nilai-nilai itu bisa masuk ke dalam hati mereka, bukan hanya ke telinga.

Namun, menyalahkan siswa sepenuhnya juga bukan solusi. Mereka adalah cerminan dari sistem dan lingkungan yang membentuknya. Maka, introspeksi perlu dilakukan oleh semua pihak : guru, orang tua, bahkan pembuat kebijakan. Sekolah harus kembali menjadi tempat yang memberi makna, bukan sekadar tempat “absen dan pulang.” Membangun iklim sekolah yang sehat, penuh apresiasi, dan saling menghargai adalah langkah awal yang penting. Ketika siswa merasa dihargai, mereka pun akan belajar menghargai.

Jadi, ada apa dengan siswa kita? Mungkin pertanyaannya perlu diubah: ada apa dengan sistem yang membentuk siswa kita? Hanya dengan pendekatan yang menyeluruh dan keterlibatan semua pihak, kita bisa berharap siswa-siswa kita kembali peduli, tidak hanya pada nilai rapor, tapi juga pada lingkungan tempat mereka tumbuh dan belajar. Karena sekolah bukan hanya tempat menimba ilmu, tapi juga tempat menempa jiwa.

#mendidikdenganhati

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *