Dulu, guru dikenal sebagai sosok yang disegani. Kalimat legendaris “Guru adalah digugu dan ditiru” bukan sekadar slogan, tapi benar-benar terasa dalam keseharian. Guru hadir bukan hanya untuk mengajar, tetapi juga mendidik dan memberi teladan. Namun, realita sekarang tak lagi seideal itu. Banyak guru kehilangan wibawa, bukan karena kehilangan kemampuan, tapi karena posisi mereka sebagai pendidik mulai tergerus zaman dan sistem.
Ironisnya, guru sendiri terkadang lupa bahwa dirinya adalah contoh. Ada guru yang mengajar tanpa semangat, bicara seenaknya, bahkan membawa masalah pribadi ke dalam kelas. Belum lagi penggunaan media sosial yang tak bijak, yang terkadang memperlihatkan sisi yang tidak pantas untuk ditiru. Ketika guru tak bisa menjadi murid yang terus belajar dan berbenah, maka ia pun tak bisa menjadi panutan sejati.
Di sisi lain, murid pun kehilangan arah. Banyak dari mereka yang tak lagi paham peran sebagai pelajar. Alih-alih menghormati guru, mereka justru merasa lebih tahu, lebih bebas, bahkan tak sedikit yang bersikap seenaknya. Ketika guru menegur, dianggap terlalu keras. Ketika membiarkan, dianggap tak peduli. Ketidakseimbangan ini menjadikan ruang kelas bukan tempat bertumbuh, melainkan tempat bertahan.
Salah satu sebab utamanya adalah minimnya dukungan sistem. Guru sering kali dihadapkan pada tekanan administratif yang menyita waktu dan energi. Di saat yang sama, mereka tidak diberi ruang untuk menegakkan kedisiplinan tanpa khawatir dilaporkan atau viral. Contoh nyata, ada guru yang hanya karena menegur murid yang tidak sopan, justru dilaporkan oleh orang tua ke aparat sehingga berujung pada sanksi dari sekolah. Ini menciptakan rasa takut untuk bersikap tegas.
Padahal, pendidikan bukan hanya soal mentransfer ilmu, tapi membentuk karakter. Jika guru tak punya power untuk mendidik secara utuh, bagaimana mungkin murid bisa tumbuh dengan nilai-nilai baik? Jika murid merasa bebas tanpa arah, bukan tidak mungkin mereka terbiasa menormalkan kesalahan. Ketika dua peran ini kacau, maka pendidikan menjadi kehilangan rohnya.
Sudah saatnya kita mengembalikan posisi guru sebagai pendidik yang dihormati dan murid sebagai pembelajar yang rendah hati. Guru perlu terus belajar dan introspeksi agar tetap layak ditiru. Murid perlu diarahkan, bukan dimanjakan. Sekolah dan masyarakat harus saling dukung agar ruang belajar kembali jadi tempat yang sehat, aman, dan penuh makna. Karena sejatinya, ketika guru dan murid menempati peran masing-masing, barulah pendidikan bisa benar-benar berjalan.