Ketika Rokok di Sekolah Lebih Aman daripada Teguran Guru

Penulis : Eko Jadmiko Totok Saputro

Beberapa waktu terakhir, jagat pendidikan kita kembali gaduh. Seorang kepala sekolah dilaporkan ke polisi oleh orang tua siswa karena menampar anak yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Kasus ini sontak menjadi sorotan publik, menimbulkan perdebatan panjang tentang batas antara mendidik dan melanggar. Padahal, jika kita mau sedikit menahan emosi dan melihat dari dua sisi, ada pelajaran besar yang bisa kita petik dari peristiwa ini.

Di satu sisi, tindakan kekerasan dalam bentuk apa pun memang tidak dibenarkan. Sekolah seharusnya menjadi ruang aman bagi siswa untuk belajar dan bertumbuh, bukan tempat di mana fisik atau harga diri mereka dilukai. Dunia pendidikan sudah jauh berkembang, dan pendekatan disiplin pun mestinya lebih humanis, lebih mendidik tanpa harus menyakitkan.

Namun, di sisi lain, mari kita jujur: menjadi guru di zaman sekarang tidaklah mudah. Setiap tindakan yang sedikit keras bisa berujung viral, dan setiap teguran yang tegas bisa dianggap sebagai pelanggaran. Guru yang dulu dikenal sebagai sosok yang dihormati, kini harus berjalan di atas tali tipis antara mendidik dan dituduh melakukan kekerasan. Sebuah dilema yang melelahkan.

Padahal, tugas guru tidak sekadar mengajar rumus dan teori. Lebih dari itu, guru adalah pembentuk karakter. Mereka dituntut untuk menanamkan nilai, membentuk sikap, dan menegakkan kedisiplinan, tiga hal yang sering kali tidak bisa dilakukan hanya dengan nasihat lembut. Kadang, perlu ketegasan. Tapi kini, ketegasan itu menjadi sesuatu yang menakutkan bagi pendidik.

Ironinya, banyak orang tua yang berharap anaknya menjadi disiplin, sopan, dan tangguh, tapi ketika guru berusaha menanamkan hal itu dengan cara tegas, justru guru yang disalahkan. Akhirnya, guru memilih diam. Mereka tidak lagi menegur, tidak lagi memperingatkan, karena setiap langkah bisa berujung laporan polisi. Lalu siapa yang rugi? Anak-anak kita sendiri.

Kita sering bicara tentang krisis moral di kalangan remaja, siswa yang berani melawan, yang malas belajar, yang tak lagi menghormati guru. Tapi sedikit yang berani mengakui bahwa sebagian dari krisis itu tumbuh dari sistem yang membuat guru tidak berdaya. Guru kehilangan wibawa bukan karena mereka tidak mampu mendidik, tapi karena ruang gerak mereka terus dipersempit oleh ketakutan dan aturan yang kaku.

Lucunya, kasus seperti ini sering diikuti oleh “drama solidaritas” siswa. Mereka mogok belajar, menuntut keadilan bagi temannya yang merokok. Ironi yang menyedihkan. Solidaritas memang penting, tapi apa jadinya jika solidaritas itu buta arah, membela yang salah dan mencemooh yang berusaha menegakkan aturan? Di sinilah pendidikan karakter seharusnya diuji.

Mungkin kita memang sedang hidup di era “anak emas”, di mana kesalahan siswa selalu bisa dimaafkan, tapi kesalahan guru tidak. Guru yang menegur dianggap menekan, guru yang diam dianggap tidak peduli. Apa pun yang dilakukan, salah di mata sebagian orang tua. Dan di tengah situasi itu, dunia pendidikan berjalan pincang, guru takut menegur, siswa bebas berbuat.

Tentu saja, tidak ada yang membenarkan kekerasan. Tapi kita juga harus berani jujur: disiplin tidak akan tumbuh dari pembiaran. Jika setiap upaya menegakkan aturan selalu dipelintir menjadi tindakan represif, maka jangan heran bila nanti sekolah berubah menjadi tempat tanpa aturan. Anak-anak kita tumbuh tanpa batas, tanpa arahan, tanpa hormat pada otoritas.

Kasus kepala sekolah ini seharusnya menjadi cermin, bukan sekadar bahan sensasi. Ia menegaskan bahwa pendidikan karakter tidak bisa diserahkan pada buku teks atau seminar motivasi saja. Ia butuh kerja sama antara guru, orang tua, dan masyarakat. Bukan untuk mencari siapa yang salah, tapi untuk memastikan bahwa dalam proses mendidik, semua pihak berdiri di sisi yang sama: sisi yang benar, sisi yang ingin melihat anak-anak kita tumbuh menjadi manusia yang beradab, bukan hanya cerdas di atas kertas.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *