Nasi Kotak, Tulisan Tangan, dan Rasa Terima Kasih yang Tulus

Minggu lalu, ada momen hangat terjadi di sekolah kita. Seorang siswa yang diterima di perguruan tinggi negeri lewat jalur SNBP datang ke sekolah bersama ibunya serta membawa beberapa nasi kotak. Tapi bukan itu saja yang bikin momen ini terasa spesial. Di tiap kotak nasi, ia menyisipkan secarik kertas berisi ucapan terima kasih yang ditulis tangan, bukan hasil fotokopi atau “print”-an. Simpel, tulus, dan terasa sangat personal. Ucapan itu ditujukan untuk bapak, ibu guru dan staf tata usaha, sebagai wujud rasa syukur dan penghargaan atas bimbingan selama ini.

Tentu saja, banyak guru yang terharu. Bukan karena nasinya, tapi karena isi hati yang tertuang lewat tulisan tangan itu. Di tengah era serba digital, ketika ucapan terima kasih lebih sering disampaikan lewat emoji atau stiker WA, tulisan tangan seperti itu jadi sesuatu yang langka. Bagi sebagian guru, itu lebih berkesan daripada hadiah mahal sekalipun. Rasa terima kasih yang jujur dan penuh niat baik memang selalu punya tempat khusus di hati.

Namun, seperti biasa, nggak semua orang memandang hal ini dengan sudut pandang yang sama. Ada juga yang berkomentar, “Sebenarnya nggak perlu sampai ngasih nasi kotak segala, nanti siswa lain yang juga lolos SNBP tapi nggak ngasih jadi merasa nggak enak.” Komentar itu nggak sepenuhnya salah, karena memang ada risiko timbulnya rasa sungkan atau seolah ada “standar baru” dalam cara bersyukur ke guru.

Tapi kalau dipikir-pikir, setiap orang punya cara masing-masing dalam menunjukkan rasa terima kasih. Ada yang lewat ucapan langsung, ada yang diam-diam berdoa dalam hati, ada juga yang menuliskannya dan menyisipkan dalam kotak nasi hangat. Selama tidak dimaksudkan untuk pamer atau membandingkan, kenapa harus jadi masalah? Yang penting, tidak ada unsur mewajibkan atau berharap balasan apa-apa. Ini soal ekspresi pribadi, bukan perlombaan.

Justru yang perlu ditekankan adalah makna dari tindakan itu, bukan bentuknya. Kalau memang siswa lain merasa tidak enak, bukan berarti mereka harus ikut-ikutan ngasih nasi kotak, tapi mungkin cukup dengan mengucapkan terima kasih, atau menunjukkan rasa hormat dengan cara yang lain. Nggak perlu seragam, asal datang dari hati.

Pada akhirnya, baik yang memberi nasi kotak, yang menulis ucapan tangan, maupun yang hanya menundukkan kepala dan mengucap terima kasih dalam hati, semua itu sah-sah saja. Selama dilakukan dengan niat tulus dan bukan karena tekanan sosial, setiap bentuk rasa syukur punya nilainya sendiri. Toh, yang paling penting bukan nasi atau kertasnya, tapi isi hati di balik semua itu. Sebab pada akhirnya, bentuk terima kasih yang paling berharga bagi guru adalah keberhasilan dan kesungguhan muridnya dalam belajar dan meraih masa depan yang cerah.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *