Tepuk Tangan Saat Upacara: Wajar Nggak, Sih?

Setiap Senin pagi, suasana sekolah berubah jadi lebih formal dan khidmat. Upacara bendera jadi agenda wajib di hampir semua SMA di Indonesia. Di tengah semangat pagi dan suara bendera yang berkibar, salah satu momen yang paling ditunggu adalah amanat dari pembina upacara. Kadang, isi amanatnya bisa sangat menyentuh, membangkitkan semangat, atau justru disampaikan dengan gaya yang lucu dan menghibur. Di momen-momen seperti ini, wajar jika muncul keinginan untuk memberi tepuk tangan. Tapi, boleh nggak sih sebenarnya?

Kalau bicara soal boleh atau tidak, kita perlu lihat dari kacamata aturan. Menurut *Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pedoman Upacara Bendera di Sekolah, serta *Peraturan Menteri Sekretaris Negara Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pedoman Umum Upacara Bendera, tidak ada bagian dari susunan acara yang menyebutkan adanya tepuk tangan dari peserta. Upacara bendera diatur dengan tujuan menumbuhkan sikap nasionalisme, kedisiplinan, dan rasa hormat terhadap negara. Maka dari itu, suasana selama upacara harus dijaga agar tetap tertib dan khidmat.

Artinya, dari sisi aturan, bertepuk tangan selama upacara berlangsung sebenarnya tidak dianjurkan. Apalagi saat momen-momen penting seperti pengibaran bendera atau pembacaan teks Pancasila dan UUD 1945. Di saat-saat ini, sikap hormat dan tenang jauh lebih dihargai dibanding ekspresi spontan seperti bertepuk tangan atau bersorak.

Tapi, bagaimana dengan momen setelah pembina selesai menyampaikan amanat? Ini yang sering jadi perdebatan kecil di sekolah-sekolah. Kadang, saking inspiratifnya isi pidato, siswa ingin menunjukkan apresiasi. Beberapa sekolah bahkan secara tidak langsung membiarkan tepuk tangan kecil di akhir amanat, selama tidak berlebihan dan tidak memecah kekhidmatan suasana. Hal seperti ini biasanya dikembalikan ke kebijakan dan budaya sekolah masing-masing.

Hal serupa juga terjadi saat pembina meninggalkan lapangan upacara. Ada sekolah yang melatih siswa untuk tetap diam dan tegak, ada juga yang mengizinkan tepuk tangan ringan sebagai bentuk penghormatan. Di luar itu, kalau ada tamu penting seperti tokoh masyarakat atau alumni inspiratif yang jadi pembina, siswa kadang spontan bertepuk tangan saat mereka pamit. Wajar saja, namanya juga ekspresi penghargaan. Tapi tetap, harus dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa ini upacara, bukan acara hiburan.

Meski begitu, penting untuk diingat bahwa makna upacara bukan sekadar rutinitas, tapi simbol penghormatan terhadap negara dan nilai-nilai kebangsaan. Jadi, meskipun ada momen yang menggoda untuk bertepuk tangan, sikap terbaik adalah tetap menjaga suasana formal dan tenang. Tepuk tangan bisa jadi bentuk penghargaan, tapi dalam konteks upacara bendera, justru sikap hormat dan tenang itulah yang paling bermakna.

Kalau ingin memberikan apresiasi, ada banyak cara lain yang lebih sesuai. Misalnya, dengan menyimak amanat dengan sungguh-sungguh, tidak membuat keributan, atau bahkan menyampaikan ucapan terima kasih secara pribadi setelah upacara. Ini jauh lebih menunjukkan kedewasaan dan sikap hormat dibanding bertepuk tangan di tengah upacara yang resmi.

Kesimpulannya, secara aturan, peserta upacara memang sebaiknya tidak bertepuk tangan selama upacara berlangsung. Tapi dalam praktiknya, kalau dilakukan dengan sopan dan tidak mengganggu kekhidmatan, bisa saja diterima sebagai bentuk apresiasi, terutama di akhir amanat atau saat pembina meninggalkan lapangan. Kuncinya ada di niat dan sikap: tetap hormat, tetap tertib, dan tetap menjaga suasana upacara sebagai bentuk penghargaan terhadap negara.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *